0

0

0

share


#GAPPendidikan#skillcoding#mahasiswa#Opini
0 Reaksi

0 Komentar

Kenapa Lulusan IT Banyak Yang Engga Bisa Ngoding? Diskusi Yuk!

Profile
Prasatya

27 Maret 2025

Kenapa Lulusan IT Banyak Yang Engga Bisa Ngoding? Diskusi Yuk!

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi yang membawa kita ke era digital, ada satu fenomena yang bikin orang geleng-geleng kepala: banyak lulusan IT ternyata nggak bisa coding. Iya, coding—keterampilan yang seharusnya jadi tulang punggung profesi di bidang teknologi informasi—justru sering absen dari kemampuan para sarjana yang baru lulus. Bayangkan, di saat perusahaan berlomba-lomba cari talenta yang bisa nulis baris kode untuk bikin aplikasi, website, atau sistem canggih, malah ketemu kenyataan bahwa banyak lulusan IT cuma bisa bengong pas diminta bikin program sederhana. Apa yang salah? Sistem pendidikannya? Pola pikir mahasiswanya? Atau mungkin ekspektasi industri yang kelewat tinggi? Yuk, kita bongkar bareng-bareng.

Kalau kita tarik data, misalnya dari Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer (APTIKOM), pada 2023 ada angka yang bikin kening berkerut: sekitar 60% lulusan IT di Indonesia nggak punya kemampuan coding yang layak di mata industri. Ini bukan cuma soal nggak bisa bikin aplikasi kompleks, tapi bahkan dasar-dasar seperti logika pemrograman atau sintaks bahasa modern seringkali nggak dikuasai. Padahal, di jaman sekarang, coding itu ibarat kemampuan membaca dan menulis buat profesi IT. Tapi nyatanya, banyak lulusan IT yang setelah wisuda malah balik lagi belajar dari nol—kebanyakan otodidak lewat kursus online atau tutorial YouTube. Pertanyaannya, kalau universitas nggak bisa nyiapin mereka, lalu apa gunanya gelar yang mereka kejar selama empat tahun?

Salah satu biang keladinya bisa kita lihat dari cara pendidikan IT dijalankan. Banyak kampus, termasuk yang punya nama besar, masih pakai kurikulum yang ketinggalan jaman. Bayangin aja, mahasiswa diajarin bahasa pemrograman seperti Pascal atau C++ yang udah jarang dipakai di dunia nyata, sementara industri lagi gila-gilaan nyari orang yang jago Python, JavaScript, atau framework kekinian kayak Django sama React. Nggak heran kalau lulusan IT sering bingung pas masuk dunia kerja—mereka nggak punya bekal yang relevan. Belum lagi, metode pengajarannya sering terpaku pada teori ketimbang praktik. Mahasiswa cuma disuguhi slide PowerPoint penuh rumus dan konsep, tapi jarang banget dikasih proyek nyata buat ngasah skill. Akibatnya, mereka lulus dengan nilai bagus, IPK mungkin di atas 3 koma, tapi pas disuruh coding? Nol besar.

Bicara soal dosen, ini juga jadi sorotan. Nggak sedikit dosen IT yang—maaf kata—gagap coding. Banyak dari mereka memang punya gelar tinggi, tapi kebanyakan cuma jago ngomongin teori tanpa bisa ngasih contoh nyata. Saya pernah denger cerita dari temen kost jaman kuliah dulu, dia kuliah di salah satu kampus swasta top di Indonesia, jurusan IT. Dia bilang, dosennya sering cuma kasih tugas tanpa penjelasan mendalam, apalagi bimbingan praktis. Hasilnya? Temen saya itu lulus dengan IPK lumayan, tapi sampai detik terakhir kuliah, dia nggak bisa bikin program sederhana. Ironisnya, dia bilang itu kayak budaya normal di sini—kejar gelar, bukan skill.

Tapi, jangan salah sangka, kampus nggak selalu yang harus disalahin. Mahasiswa sendiri punya andil besar dalam masalah ini. Banyak yang masuk jurusan IT cuma karena ikut-ikutan tren atau desakan orang tua, bukan karena beneran suka ngutak-atik kode. Tanpa passion, ya jelas mereka males belajar lebih jauh. Saya kenal orang yang bukan lulusan IT, tapi jago coding karena rajin otodidak—belajar dari forum, video, sama trial-error. Bandingkan sama mahasiswa IT yang cuma pengen lulus, ngerjain tugas secukupnya, dan nggak pernah penasaran buat eksplorasi sendiri. Motivasi intrinsik ini yang sering hilang, dan itu nggak bisa cuma disalahin ke sistem.

Dampaknya? Chaos di dunia kerja. Perusahaan IT di Indonesia sering ngeluh susah nyari talenta lokal yang kompeten. Banyak lowongan yang akhirnya diisi sama programmer asing atau malah dialihdayakan ke luar negeri. Buat lulusan IT yang nggak bisa coding, nasibnya lebih susah lagi—mereka harus mulai dari nol, ikut bootcamp, atau belajar sendiri, padahal udah keluar duit banyak buat kuliah. Gap antara apa yang diajarin kampus dan apa yang dibutuhin industri ini bikin orang bertanya: kapan ya universitas bener-bener bisa nutup celah ini? Atau mungkin ide liar ini ada benernya—bikin syarat masuk kuliah IT harus udah bisa coding dulu, biar yang masuk beneran serius?

Solusinya nggak gampang, tapi bukan berarti nggak mungkin. Pertama, kampus harus berani rombak kurikulum. Jangan cuma ngikutin standar lama, tapi lihat apa yang lagi hot di industri. Kolaborasi sama perusahaan IT bisa jadi jalan—kasih mahasiswa proyek riil, bukan cuma tugas akademik. Kedua, metode belajar harus lebih hands-on. Coding itu kayak main alat musik—nggak bakal jago kalau cuma baca teori tanpa latihan. Kasih mahasiswa akses ke lab komputer yang mumpuni, software terbaru, dan mentor yang beneran ngerti coding, bukan cuma pinter ceramah.

Dari sisi mahasiswa, mindset-nya juga harus berubah. Jangan cuma ngejar gelar, tapi kejar skill yang bikin mereka stand out. Ikut komunitas coding, lomba hackathon, atau magang di startup bisa jadi cara buat ngetes kemampuan sekaligus belajar dari praktisi. Pemerintah juga bisa turun tangan—bikin program pelatihan massal atau kasih insentif buat perusahaan yang mau bantu ngelatih lulusan IT yang masih hijau. Bayangin kalau semua pihak ini kerja bareng—kampus, mahasiswa, industri, sama pemerintah—mungkin kita nggak bakal lagi denger keluhan soal lulusan IT yang cuma jadi “sarjana kertas”.

Image

Jadi, balik lagi ke pertanyaan awal: kenapa banyak lulusan IT nggak bisa coding? Jawabannya nggak cuma satu—ada di kurikulum yang kaku, pengajaran yang kurang praktis, dosen yang nggak update, sampai mahasiswa yang kurang niat. Tapi yang jelas, ini masalah serius yang nggak bisa dibiarkan. Teknologi bakal terus maju, dan kalau kita nggak siapin generasi IT yang kompeten, ya siap-siap aja ketinggalan jauh. Jadi, kapan kita mulai benerin ini? Diskusi boleh dilanjutin, tapi aksi nyata jauh lebih penting.

0

0

0

share