Apa itu Zero Trust? Pengertian dalam Cyber Security

Profile
Prasatya

15 Agustus 2025

Apa itu Zero Trust? Pengertian dalam Cyber Security

Dalam era transformasi digital, ancaman keamanan siber terus berkembang pesat. Laporan Cybersecurity Ventures memprediksi kerugian global akibat serangan siber mencapai USD 10,5 triliun pada 2025. Selain itu, praktik kerja remote dan adopsi layanan cloud membuat perimeter tradisional semakin kabur. Untuk menghadapi situasi ini, muncul konsep Zero Trust — sebuah model keamanan siber modern yang menghilangkan asumsi “kepercayaan default”.

Gambar ilustrasi jabat tangan menggambarkan model keamanan tradisional yang masih bergantung pada kepercayaan (trust). Paradigma Zero Trust justru meniadakan kepercayaan implisit ini dengan prinsip “jangan pernah percaya, selalu verifikasi.” Setiap pengguna atau perangkat yang hendak mengakses sistem harus dibuktikan identitasnya sebelum diberi hak akses. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh analis John Kindervag (Forrester) pada 2010, dan sekarang diadopsi luas oleh perusahaan modern.

Apa itu Zero Trust?

Image

Zero Trust adalah model atau strategi keamanan siber yang menganggap tidak ada entitas yang boleh dipercaya secara otomatis, baik yang berada di dalam maupun di luar jaringan organisasi. Pendekatan ini berfokus pada penerapan kebijakan ketat pada setiap koneksi: setiap permintaan akses, sekecil apapun, harus diautentikasi dan diotorisasi secara eksplisit. Dalam kata lain, identitas pengguna, perangkat, dan aplikasi selalu dianggap rentan hingga terbukti sebaliknya.

Zero Trust menggantikan asumsi keamanan tradisional yang selama ini mengandalkan perimeter (firewall, VPN) sebagai garis tepi yang aman. Saat ini, ekosistem TI perusahaan modern meliputi multicloud, layanan mobile, IoT, hingga akses SaaS, sehingga permukaan serangan jauh lebih luas. Oleh karena itu, Zero Trust memindahkan kontrol keamanan ke setiap sumber daya. Misalnya, ketika pengguna memasuki sistem, ia tidak langsung diizinkan mengakses data sensitif meski sudah melewati firewall. Sebaliknya, sistem akan mengecek ulang (reauthenticate) kontekstual seperti lokasi pengguna, kesehatan perangkat, dan perilaku akses sebelum memberi izin.

Tidak heran banyak organisasi kini menerapkan model ini. Menurut TechTarget ESG 2024, lebih dari dua pertiga organisasi telah menerapkan kebijakan Zero Trust secara luas. Model Zero Trust juga semakin dibutuhkan karena regulasi keamanan yang ketat: misalnya, perintah eksekutif AS tahun 2021 mewajibkan lembaga federal mengadopsi arsitektur Zero Trust (ZTA).

Baca Juga: Belajar Cyber Security: Keamanan Siber, Jenis dan Ancaman

Kenapa Zero Trust Semakin Populer?

Sejumlah faktor membuat Zero Trust menjadi tren utama di dunia cybersecurity. Berikut beberapa alasan utamanya:

  • Serangan Ransomware & Pergerakan Lateral: Serangan seperti ransomware dapat menyusup melewati perimeter tradisional dan berpindah (“lateral movement”) antar bagian jaringan. Zero Trust menekan risiko ini dengan memverifikasi identitas secara kontinu dan mengisolasi segmen jaringan. IBM mencatat penerapan Zero Trust membantu mengurangi serangan ransomware karena identitas selalu dicek ulang, sehingga eksposur data akibat kebocoran pun berkurang.
  • Kerja Jarak Jauh (Remote Work): Pandemi mendorong banyak karyawan bekerja di luar kantor. Akses ke aplikasi dan data kini datang dari mana saja—dari rumah, kafe, atau perangkat pribadi. Zero Trust memudahkan kontrol akses dengan autentikasi ketat (misalnya multi-factor authentication), tanpa mengganggu produktivitas pengguna. Model ini memastikan bahkan pengguna remote pun harus diverifikasi berlapis sebelum mengakses data perusahaan.
  • Adopsi Cloud yang Meluas: Cloud computing menawarkan fleksibilitas, tetapi juga memperlebar “perimeter” yang perlu diamankan. Menurut Google Cloud, karena cloud membuat batas jaringan tradisional kabur, organisasi butuh pendekatan keamanan yang tak bergantung lokasi. Zero Trust dirancang untuk lingkungan hybrid/multi-cloud modern; misalnya IBM menekankan bahwa untuk melindungi pertumbuhan di era hybrid cloud, organisasi perlu menekankan Zero Trust Network Access (ZTNA). Dengan kata lain, Zero Trust secara inheren cocok untuk menjaga keamanan data di mana saja, baik on-premise maupun cloud.
  • Regulasi & Kepatuhan: Peningkatan regulasi (seperti GDPR, HIPAA) mengharuskan perusahaan menjaga data pelanggan dengan ketat. Dengan memverifikasi setiap permintaan akses dan mencatat jejak akses secara rinci, Zero Trust mempermudah audit dan bukti kepatuhan ketika diperlukan. Hal ini meningkatkan kepercayaan pelanggan bahwa data mereka ditangani aman.
  • Evolusi Keamanan Tradisional Tidak Cukup: Pendekatan keamanan lama yang hanya fokus pada pertahanan perimeter (defense-in-depth) sudah terbukti mahal dan kompleks. Zero Trust menggabungkan konsep defense-in-depth namun bertujuan meminimalkan permukaan ancaman sehingga sistem lebih aman secara inheren.

Berbagai riset dan praktik menunjukkan bahwa Zero Trust meningkatkan postur keamanan perusahaan. Misalnya, IBM menyebutkan bahwa penerapan Zero Trust membantu organisasi menjadi lebih tangguh (resilient) dan mengurangi risiko lingkungan TI yang terfragmentasi. Singkatnya, tren Zero Trust didorong oleh kebutuhan nyata untuk melindungi data di era serba terdistribusi ini.

Apa itu Keamanan Cloud?

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dipahami pengertian keamanan cloud. Menurut Google Cloud, keamanan cloud adalah rangkaian kebijakan, kontrol, dan teknologi yang digunakan untuk mengamankan aplikasi, data, dan infrastruktur di lingkungan cloud. Dengan kata lain, keamanan cloud mencakup segala usaha untuk melindungi sumber daya perusahaan yang berada di server online (cloud), termasuk layanan seperti AWS, GCP, Azure, maupun aplikasi SaaS.

Beberapa elemen utama keamanan cloud meliputi:

  • Kebijakan dan Prosedur: Menentukan aturan pengelolaan akses data di cloud. Ini termasuk menentukan siapa yang boleh akses apa, kapan, dan bagaimana.
  • Enkripsi Data: Melindungi data dengan enkripsi saat disimpan (at-rest) maupun saat ditransmisikan (in-transit). Enkripsi memastikan bahwa walaupun data dicuri, pelakunya tidak mudah membacanya.
  • Manajemen Identitas & Akses (IAM): Mengautentikasi dan memberikan hak akses terhadap pengguna dan perangkat. Misalnya, penggunaan multi-factor authentication (MFA) dan kontrol least privilege (hak akses minimum) sangat krusial.
  • Pengawasan dan Pemantauan: Mencatat (logging) semua aktivitas di lingkungan cloud secara kontinu. Dengan monitoring real-time, anomali dapat segera dideteksi sebelum menjadi insiden besar.
  • Proteksi Beban Kerja Cloud-Native: Seperti container dan microservices, yang membutuhkan pengamanan tambahan (misalnya network policy khusus).
  • Pencegahan Kebocoran Data (DLP): Alat khusus yang mencegah data sensitif keluar tanpa otorisasi, baik melalui aplikasi maupun endpoint.

Semua itu diterapkan dalam kerangka tanggung jawab bersama (shared responsibility). Artinya, penyedia layanan cloud menangani keamanan infrastruktur inti, sedangkan pelanggan bertanggung jawab mengamankan aset yang mereka kelola di cloud. Dengan semakin banyaknya data penting berpindah ke cloud, investasi pada keamanan cloud menjadi kewajiban bagi organisasi modern.

Integrasi Zero Trust dalam Keamanan Cloud

Zero Trust dan keamanan cloud sebenarnya berjalan beriringan. Implementasi Zero Trust di lingkungan cloud berarti setiap lapisan keamanan diperketat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  • Autentikasi Multi-Factor (MFA): Setiap akses ke aplikasi di cloud sebaiknya dilengkapi MFA. Gambar ilustrasi di bawah ini menggambarkan konsep keamanan tambahan seperti MFA, misalnya pemindaian sidik jari atau token, agar akses hanya bisa dilakukan oleh pihak sah.

Ilustrasi autentikasi multi-faktor (fingerprint) yang menjadi bagian penting dari Zero Trust. Setiap perangkat dan pengguna harus membuktikan identitasnya melalui verifikasi berlapis sebelum diizinkan mengakses data sensitif.

  • Akses Hak Istimewa Minimum (Least Privilege): Berikan hanya hak akses minimum yang diperlukan pengguna untuk menjalankan tugasnya. Misalnya, seorang marketing tidak harus memiliki akses administrasi ke server produksi. Prinsip ini mengurangi risiko jika akun tersebut disusupi.

  • Segmentasi Mikro (Micro-Segmentation): Zero Trust memanfaatkan segmentasi jaringan yang sangat rinci. Cara ini memisahkan jaringan menjadi zona-zona kecil sehingga malware sulit menyebar secara lateral. Google menjelaskan bahwa pendekatan Zero Trust menggunakan segmentasi mikro dengan kebijakan detail untuk mengisolasi workload penting. Dengan begitu, meski terjadi kebocoran di satu segmen, penyebaran serangan dapat dicegah.

  • Pemantauan Berkelanjutan: Semua aktivitas di jaringan dan cloud dipantau secara real-time. Sistem Zero Trust harus mampu mendeteksi anomali secara cepat dan mengambil tindakan. Setiap permintaan ulang diverifikasi dengan kebijakan keamanan dinamis. Log dan telemetri harus disimpan untuk audit dan analisis forensik jika terjadi insiden.

  • Teknologi Pendukung: Implementasi Zero Trust di cloud biasanya melibatkan beberapa solusi seperti:

    • Identity and Access Management (IAM): Menyediakan kerangka verifikasi dan manajemen identitas pengguna.
    • Cloud Access Security Broker (CASB): Menyaring dan melindungi penggunaan aplikasi cloud oleh pengguna.
    • Secure Access Service Edge (SASE): Menggabungkan fungsi jaringan (SD-WAN) dan keamanan (termasuk Zero Trust) dalam satu arsitektur terpusat.
    • Solusi VPN/Zero Trust Network Access (ZTNA): Mengganti VPN tradisional dengan ZTNA yang hanya membuka akses berdasarkan identitas dan kebijakan Zero Trust.

Dengan menerapkan elemen-elemen di atas, Zero Trust memastikan kontrol keamanan cloud yang lebih ketat. IBM misalnya menyatakan bahwa untuk melindungi bisnis dalam lingkungan hybrid cloud, perusahaan harus mengadopsi arsitektur Zero Trust, khususnya Zero Trust Network Access (ZTNA).

Baca Juga: Tips Cyber Security pada Laravel

Langkah-langkah Implementasi Zero Trust dan Keamanan Cloud

Berikut langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk menerapkan Zero Trust dalam strategi keamanan cloud Anda:

  1. Inventarisasi Aset Digital: Identifikasi data, aplikasi, dan sumber daya penting yang harus dilindungi. Pahami di mana data sensitif berada — on-premise, cloud, maupun hybrid.
  2. Tentukan Kebijakan Akses: Rancang kebijakan yang menerapkan prinsip least privilege. Klasifikasikan peran pengguna (role) dan tentukan hak akses minimal sesuai kebutuhan pekerjaannya.
  3. Terapkan Teknologi Pendukung: Gunakan solusi IAM untuk mengelola identitas, terapkan MFA, dan manfaatkan alat seperti SASE dan CASB sesuai kebutuhan. Misalnya, aktifkan MFA untuk akses cloud, atur grup akses dengan ketat, dan gunakan enkripsi data end-to-end.
  4. Segmentasi Jaringan: Lakukan segmentasi mikro pada jaringan dan cloud. Pisahkan sistem kritis dari jaringan umum agar potensi serangan tidak menyebar luas.
  5. Pendidikan dan Pelatihan: Edukasi tim IT dan karyawan tentang pentingnya prosedur keamanan. Pastikan mereka memahami bahaya serangan siber dan cara kerja sistem Zero Trust.
  6. Pemantauan dan Audit Berkala: Pasang sistem pemantauan (SIEM, IDS/IPS) yang mengawasi aktivitas secara terus-menerus. Lakukan audit keamanan secara rutin untuk memastikan kebijakan dan konfigurasi masih berlaku efektif.
  7. Penyesuaian Berkelanjutan: Zero Trust bukan proyek sekali jadi. Seiring pertumbuhan bisnis dan teknologi baru, terus evaluasi dan perbarui kebijakan keamanan untuk menutup celah yang muncul.

Dengan mengikuti langkah-langkah ini, organisasi dapat membangun fondasi Zero Trust di atas keamanan cloud yang kuat.

Manfaat Zero Trust dan Cloud Security bagi Bisnis

Menginvestasikan sumber daya pada Zero Trust dan keamanan cloud membawa banyak keuntungan strategis:

  • Kepercayaan Pelanggan Meningkat: Dengan menjaga data pelanggan seaman mungkin, perusahaan membangun reputasi positif. Pelanggan akan lebih percaya jika sistem Anda memiliki pembuktian audit dan kontrol ketat.
  • Risiko Insiden Berkurang: Berfokus pada pencegahan dan deteksi dini artinya kerugian akibat serangan bisa ditekan. IBM mencatat bahwa Zero Trust membantu mengurangi eksposur data saat terjadi breach, sekaligus mencegah serangan seperti ransomware.
  • Kepatuhan Lebih Mudah: Dengan logging lengkap dan kontrol akses granular, perusahaan lebih mudah memenuhi persyaratan regulasi (seperti GDPR, HIPAA, ISO 27001). Misalnya, setiap akses sudah terrekam otomatis sehingga audit dapat dilakukan tanpa hambatan.
  • Produktivitas Tetap Terjaga: Zero Trust memungkinkan karyawan mengakses sumber daya perusahaan dari mana saja tanpa menurunkan keamanan. Kebijakan dinamis dan single sign-on membuat akses tetap cepat dan aman.
  • Fleksibilitas Inovasi: Dengan keamanan cloud yang terjamin, perusahaan lebih berani bertransformasi digital—misalnya mengadopsi layanan cloud baru atau IoT—karena akar keamanannya kuat.

Secara keseluruhan, Zero Trust dan keamanan cloud memungkinkan bisnis bergerak lebih cepat namun tetap aman, mendukung inovasi tanpa memperbesar risiko.

Kesimpulan

Dunia keamanan siber terus berubah, dan mengandalkan perimeter tradisional saja sudah tidak cukup. Zero Trust adalah pendekatan keamanan modern yang memandang setiap akses sebagai potensi ancaman dan selalu memverifikasi identitas pengguna dan perangkat. Di era cloud dan mobilitas saat ini, pendekatan “tidak percaya siapa pun” ini menjadi kunci untuk menjaga data dan aset perusahaan tetap terlindungi. Singkatnya, apa itu Zero Trust? Zero Trust adalah filosofi keamanan yang memastikan hanya entitas sah yang diberi akses, melalui verifikasi terus-menerus, segmentasi mikro, dan prinsip hak akses minimum. Dengan diimplementasikan bersama praktik keamanan cloud, Zero Trust membantu bisnis mengurangi risiko serangan, mematuhi regulasi, dan tetap agile dalam transformasi digital. Jangan tunda lagi memperkuat sistem keamanan Anda! Mulailah memahami dan menerapkan Zero Trust serta praktik keamanan cloud secara komprehensif untuk melindungi organisasi Anda dari ancaman siber yang kian maju.

Image

Kelas Fullstack di CodePolitan: Jika Anda tertarik mendalami teknologi web secara menyeluruh, CODEPOLITAN menyediakan KelasFullstack – kelas online belajar Fullstack Web Development dari A sampai Z. Kelas ini cocok bagi yang ingin berkarir bagus, menguasai keterampilan yang dibutuhkan industri, mendapatkan gaji tinggi, dan mampu membangun website/aplikasi untuk mengembangkan bisnis online sendiri. Ikuti informasinya di situs CodePolitan untuk memulai pembelajaran secara komprehensif dan praktis.

What do you think?

Reactions